Pages

Capung Dan Kupu-Kupu


Capung dan Kupu-Kupu. Sama-sama serangga. Sama-sama bersayap. Sama-sama indah. Mereka terbang saling silang membentuk sebuah tarian sore hari yang indah di taman surgawi bunga itu. Menambah indahnya semburat jingga matahari yang menyinari sisa tetes-tetes gerimis.

...Namun, sekarang taman itu telah berubah menjadi seonggok bangkai tangkai daun dan bebungaan yang kering. Sepi. Hanya desir angin yang gusar menyibak serpihan daun-daun kering itu. Semua ini berawal dari Kisah Capung dan Kupu-Kupu. Pernahkah kalian mendengar kisah ini? Aku akan menceritakannya untuk kalian...
Capung pertama kali bertemu Kupu-Kupu di sebuah tangkai bunga yang sedang memerah mekar dengan madu yang siap dinikmati oleh para penghuni taman. Kupu-Kupu itu bersayap putih, menyantap madu bunga merah yang sedang mekar itu dengan santun dan anggun. Capung bagai tersihir ramuan magis, terpaku di ujung embun yang menggantung di kelopak bunga tersebut. Kupu-Kupu putih itu dikelilingi kerumunan Kupu-Kupu lain yang tak kalah indahnya yang berusaha memenangkan perhatiannya. Capung terbang mendekati Kupu-Kupu putih, mengabaikan kerumunan Kupu-Kupu yang mencibir melihat Kupu-Kupu putih tersenyum manis padanya. Namun, Capung kehilangan keseimbangannya dan terpelanting jatuh kedalam kubangan embun yang menyipratkan butir-butir embun ke arah kerumunan kupu-kupu yang mencibir kepadanya. Kupu-Kupu putih pun terbang sambil meninggalkan tawa renyahnya dan sesaat sebelum melesat jauh, ia mengerlingkan bulu-bulu matanya yang lentik kepada Capung.
Hari-hari di taman surgawi bunga itu kian hari kian meriah diwarnai oleh indahnya kasih sayang antara Capung dan Kupu-Kupu. Menjentikkan sebuah rasa isi bagi para penghuni taman lainnya. Namun, dimana ada Kupu-Kupu dan Capung, matahari akan bersinar dengan gagahnya melalui pantulan embun-embun pagi, menggeliatkan bunga-bunga yang menghasilkan madu-madu termanis yang pernah ada, melantunkan nyayian indah para penghuni taman. Namun, yang tidak pernah disadari oleh Kupu-Kupu dan Capung serta seisi penghuni taman adalah sebentuk rasa iri yang kian hari menjelma menjadi sebentuk setan yang berakar dalam hati. Yang selalu mencari waktu untuk memisahkan dua hati yang terpaut lekat itu.
Akhirnya, waktu baik telah ditentukan. Sebuah perayaan besar akan digelar. Seluruh penghuni taman diundang. Saatnya menyatukan dua hati yang sudah terpaut lekat dalam sebuah ikatan sakral. Seisi taman sibuk mendandani taman untuk merayakan hari besar tersebut. Hingga tiba waktunya, bunga lonceng mendengungkan seruan dua hati kekasih untuk bersatu. Namun, hari itu berlalu, satu demi satu para penghuni berlalu, meninggalkan Capung yang masih berdiri kokoh di depan altar. Tersenyum lirih.
Kini Kupu-Kupu telah pergi, berlalu entah kemana dan dimana. Meninggalkan Capung yang tertatih, yang terus tersenyum walau hatinya hancur. Kisah itu akan selalu ada dalam sebuah waktu indah yang disebut kenangan. Abadi. Namun, hidup terus berjalan, menggilas kenangan dalam dasar hati yang terdalam. Kini Capung mulai menata kembali dan membuka lembaran baru nafas kehidupannya. Sebentuk capung jingga yang tulus menawarkan sebuah rasa kepadanya. “Aku mungkin bukan Kupu-Kupu putih yang telah menyentuh rasa di hatimu, namun aku akan menawarkan sebentuk rasa yang mengada seadanya, yang tercukupkan, tidak lebih tidak kurang, tulus dari dasar hatiku”, ucap Capung Jingga. Capung pun terperangah dan tersadar akan hadirnya sebuah kasih sayang yang tulus. “Kupu-Kupu Putih akan selamanya bersemayam damai di dalam hati, namun ia tidak akan pernah menjadi sebuah hantu yang selalu membayangi hidupku. Biarlah taman ini menjadi sebuah saksi atas rasa yang pernah hinggap”, sambut Capung seraya terbang menjauhi taman surgawi bunga bersama Capung Jingga. Melesat menuju sebuah perjalanan hidup lain. Meninggalkan cibiran penghuni taman yang menganggap Capung mengingkari hatinya pada Kupu-Kupu Putih. Sementara yang lain bergunjing mengenai keberadaan Kupu-Kupu Putih yang raib entah kemana dan dimana.
Seiring putaran kehidupan, satu per satu penghuni taman pergi meninggalkan sebuah surga yang dulu sangat indah. Berlalu seiring hilangnya aroma kasih sayang yang terumbar lepas seiring kepergian Capung dan Kupu-Kupu Putih. Daun-daun kering beterbangan berusaha meraih para penghuni taman yang melesat menjauh. Hari demi hari diwarnai oleh tabuhan air hujan yang jatuh di kelopak daun kering. Menciptakan sebuah ritme magis yang memilukan. Bebungaan kehilangan daya untuk menghasilkan sari pati madu yang manis dan legit. Warna-warni kehidupan di taman surgawi bunga tergantikan hitam putihnya kematian yang menginfeksi seluruh makhluk.
Di sebuah sudut taman, tersisakan sepotong nafas yang berjuang dengan segenap tenaga bertahan, hanya kata-kata berbisik yang keluar dari mulut mungilnya. Capung! Capung! Capung! Berharap angin akan melayangkan gumamannya kepada yang dituju. Tergolek lemah tanpa seutas daya tersisa, sayap-sayapnya yang dulu indah kini meninggalkan sayap putih kecoklatan yang merapuh dan terkoyak. Hanya atas nama cinta, Kupu-Kupu Putih bertahan. Melawan suratan takdir yang telah tergaris. Dengan sisa-sisa daya yang terhimpun, Kupu-Kupu Putih menggerakkan otot diafragma dan pita suaranya menyerukan satu nama dan hanya satu nama, “Capuuung...!”. Kupu-Kupu Putih tergolek, terbalut selembar daun kering dan melesat dilayangkan sang angin. Akhirnya Kupu-Kupu Putih mendapatkan jawaban atas keraguannya selama ini.