Pages

You

Orang bilang bahwa dewasa itu bukan dilihat dari usia. Dewasa itu kesiapan membentuk diri menjadi sosok yang lebih bijak. Lingkungan adalah salah satu fasilitas pembentuk kedewasaan seseorang.
Pernah gak sih merasa bahwa apa yang sudah kita lakukan, tapi masih saja salah dimata orang lain sampai kita lelah dan akhirnya merasa masa bodoh. Yap, rasa itu mungkin yang sedang aku rasain. Namun, salah jika membiarkan diri kita menyerah semudah itu.

Sekarang lagi hits kata kata 'mungkin saya lelah'. Hey cuy, lihatlah kedepan!! Gak semua kata kata yang ngehits itu mesti diterapin. Kata adalah doa, berfikirlah sebelum berkata.

Sebelum saya dihukum seperti ini saya adalah sosok anak anak yang terperangkap dalam tubuh dewasa. Semua yang saya yakini adalah benar. Gak ada satupun orang yang bisa goyahkan saya. Saya suka sifat ambisi saya, namun terkadang saya merasa tersiksa dengan ambisi itu. Ambisi untuk kemajuan gpp selama itu baik buat diri kita.

Dulu, saya memiliki teman. Teman sekaligus sahabat paling dekat saya. Dia itu seperti angin. Saya tidak bisa melihatnya, namun saya bisa merasakan jelas dirinya. Awal pertemuan dengan dia, saya terkesima dengan keindahan wajahnya sehingga ada ambisi ingin lebih dekat lagi. Namun waktu yang lama itu tidak termanfaatkan dengan baik karena kita masih kecil. Hingga akhirnya ketemu kembali saat libur lulusan sma. Dia datang lagi. Sebenarnya akupun sudah tak memiliki rasa suka padanya. Hanya teman, namun saya tak pernah melupakannya sekalipun selama kita tak saling berhubungan. Namun, dengan kegigihannya dan lemahnya saya, akhirnya saya juga kembali membuka hati untuk dia. Teman sma yang saya suka seketika lenyap dari hati saya. Dia masuk ke hati saya perlahan dan terus menerus mempengaruhi pikiran saya.
Selama liburan dialah yang menemani saya. Saya adalah tipe cewek rumahan yang tak pernah keluar dengan cowok. Maka, keluar dengannya pun hanya sekali selama kita dekat kurang lebih dua bulan itu. Tiba tiba dimalam takbir, dia bilang mau melepas saya. Saya seperti orang gila saat itu. Tak tau mesti berbuat apa. Makan g enak, tidur g bisa, melakukan aktivitas tak ada tenaga. Namun, sekali lagi saya meyakinkan hati. Kalau saya bisa melupakan mantan mantan saya kenapa saya tak bisa melupakannya. Itu adalah tumpuhan saya.

Kemudian hasrat tak bisa dibendung, kita kembali dekat atas permintaan saya. Namun, sekali lagi dia memutuskan untuk berpisah. Saya mengalah dan kita berpisah baik baik. Sesaat setelah itu, saya ingat bahwa saya memiliki janji padanya bahwa akan memberikan buku2 kepadanya sebagai media dia belajar agama.

Yap, dia bukan orang yang dekat dengan agama. Saya memaklumi karena lingkungan dan keluarga tak semudah yang saya bayangkan. Dia memiliki hasrat muda yang membara. Tak ingin kekurangan. Ingin hidup seperti teman temannya. Sayang sungguh sayang, caranya tidak sebaik yang saya bayangkan. Dia bukan pencuri! Dia hanya berusaha bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan dengan jalan cepat, namun sekali lagi dia tak mencuri.

Seharusnya, saya yang notabene adalah siswa lulusan madrasah seharusnya malas berhubungan dengan orang semacam dia. Apalagi dengan mengetahui riwayat riwayat hidupnya yang keras. Namun, saya juga pantang arang. Niat saya hanya meluruskan teman saya, agar dia mengerti dan tahu bahwa hidupnya sekarang mesti ia tinggalkan. Maka, saya memberinya buku buku agama agar dia bisa membaca saat saya tak lagi bisa menjaganya. Namun, sekali lagi saya dikecawakan olehnya. Niat baik tak diiringin dengan hasilnya. Saya hanya ingin menepati janji, tapi bertemu saya 'untuk terakhir kalinya' saja ia tak bersedia. Hati saya terasa tersayat.

Mungkin kurang lebih selama 3 bulan kami tak bertemu lagi, dia kembali menghubungi saya dengan alasan bahwa buku yang saya berikan akan dipinjam abanya. Saya mengizinkan, karena buku buku itu sekarang adalah miliknya. Dari itu kita kembali berhubungan hingga saya dibuat kesal karena selalu dimarahi saat telepon mati. Entah saya tak berfikir lagi hingga berani memblokir facebooknya. Dia sms dan mengumpat saya. Dia mencoba menghubungi adek saya, dan akhirnya kita balikan lagi.

Hari hari mungkin lebih baik, akhirnya